Kegaduhan yang muncul di media sosial belakangan ini seakan sedang menyudutkan pemerintah dengan hadirnya konsep new normal. Istilah new normal sebenarnya bukanlah hal baru dalam sejarah beberapa bangsa. Pasca pandemi Spanyol antara tahun 1918-1920 juga diterapkan sistem yang sama. Namun istilahnya berbeda seperti, revolusi atau lebih dekat ke transisi sistem. Istilah new normal adalah istilah distingtif sebagai hasil keputusan konklutif, kontekstualisasi rule, indigenisasi, dan vernakularisasi rule secara universal dengan realitas sosial, budaya, ekonomi, politik, dan agama di suatu bangsa. Dalam tinjauan kultural studies, paradigma new normal merupakan bentuk perubahan dari sistem dasar lama ke tataran pembaruan.
Jika dilihat dari aspek perilaku hegemoni, publik merasa istilah ini sepertinya terlalu dipaksakan untuk diterima dan diimplementasikan. Wajar saja Antonio Gramsci dicap sebagai dewanya pengkhianat bangsa dalam peradaban Italia yang paling terpuruk. Namun sebagian kalangan memberi predikat sebagai tokoh revolusioner Italia yang memimpin pergerakan masyarakat class root (klass bawah) melawan segala dominasi kebijakan negara yang represif dan kontra terhadap realitas masyarakatnya. Sebenarnya hal ini merupakan bentuk tindakan negara yang berlebihan dalam mengintervensi kehidupan masyarakat.
Sudah menjadi hal wajar dalam sistem new normal memiliki banyak persepsi antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan negara, bahkan antara presiden dan menteri pun sering berbeda tafsir bahkan tak mengerti satu sama lain. Biarlah, mungkin ini bisa jadi permainan kata dari sang penguasa untuk membuat masyarakatnya bingung.
Anhar, S.Pd., M.Pd.
Komentar