Dulu aku, kamu, dia dan mereka menjadi kita, kemudian kita bercerai, kemudian kita menyatu dalam imajinasi, dalam rasa yang tak ingin mendebat, aku sapa saja kau, dia, dan mereka dalam keheningan agar satu menjadi kita.
Begitulah premis minor yang terlintas dalam benak saya ketika termigoli sosial distance menghantui seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di era covid-19. Ia tak kenal kepada ia siapa bersapa. Covid-19 ialah momok yang lebih menakutkan dari sebuah peperangan, kemiskinan, dan ketertinggalan sebuah peradaba. Kurangnya basis informasi yang fundamental yang membuatnya bak lebih buruk lagi.
Jikapun ini menjadi hipotesis tak terduga tiada lain disebabkan oleh minimnya daya literasi dan ruang informasi yang menjadi basis keberlangsungan hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Itu sebabnya ancangan budaya literasi yang digagas selama dua dekaka terus ditingkatkan guna menghindari ketertinggalan modernisasi, konseptualisasi virtual, dan akses informasi itu sendiri.
Selain masalah berkembangannya infomasi covid-19 yang kian hari kian mengkhawatirkan. Terselip salah satu masalah yang menurungku bangsa Indonesia adalah rendahnya tingkat tradisi literasinya. Baik literasi yang paling awal sebagai New Knowledge as Values, reviu Information maupun Retreviue Knewegded as Information and value. Itu pun kalau kalangan akademisi mempersoalkan hal ini. Secara pribadi saya pesimis mengharapkan bangsa dan negara mempertimbangkannya sebagai aspek penting untuk kemajuan dan kemajemukan. Indikasinya sederhana saja, tidak banyak anak bangsa yang tertarik untuk menganggap masalah literasi sebagai masalah serius ketimbang masalah politik, ekonomi, dan lainnya. Cobalah tengok, banyakkah yang terkejut dengan hasil-hasil publikasi tentang rendahnya tingkat minat baca dan literasi Indonesia.
Bermula dari Central Connecticut State University yang menempatkan Indonesia pada peringkat 60 dari 61 negara yang diteliti tingkat literasi warganya. Indonesia hanya berada di atas Botswana peringkat 61 dan di bawah Thailand sebagai peringkat 59. Jadi, ini soal peringkat literasi dari suatu bangsa. Selain itu, Najwa Shihab di Kompas, Agustus 201 yang menyajikan data dari The Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) bahwa “budaya membaca masyarakat Indonesia berada pada peringkat terendah di antara 52 negara di Asia”. UNESCO melaporkan bahwa kemampuan membaca anak-anak di Eropa dalam setahun rata-rata menghabiskan 25 buku sedangkan Indonesia mencapai titik terendah yaitu 0 % tepatnya 0,001 %.
Jika data itu ingin di protes tentu tidak berguna. Lebih baik berpikir dengan kepala dingin sebagai bahan mawas diri. Dari tajuk di atas, secara pribadi mari kita mengevaluasi diri, dengan menokohkan satu tanya. Berapa jam waktu yang kita habiskan untuk membaca dalam sehari? Jangan-jangan kita pun belum tergolong insan yang membaca 2-4 jam sehari.
Bukankah yang lebih menonjol adalah kegiatan menonton berjamaah, berlama-lama larut dalam ocehan khutbah Tiktok, FB dan Ig?
Penabalan tersebut barulah salah satu sisi belahan literasi. Lalu bagaimana kemampuan menulis anak bangsa ini? Saya membayangkan pasti lebih parah lagi. Sebab, asumsinya sederhana saja, seorang yang menulis, mestilah membaca terlebih dahulu. Bahkan salah satu diktum pokok dalam kepenulisan sering dilontarkan sebagai penegasan, bahwa seorang penulis yang baik, pastilah pembaca yang baik. Sangat sulit dipercayai kemampuan menulis menjadi tradisi jikalau saja tradisi bacanya amat rendah.
Kita perdalam dalam perspektif dari Gola Gong dalam bukunya Gempa Literasi. Ketika memetakan tradisi literasi seseorang atau komunitas maupun sebagai masyarakat. Pertama, tradisi literasi yang paling awal, hanyalah sekadar mengentaskan diri dari buta huruf dan tunatulis. Kedua, tradisi literasi itu berlangsung dikarenakan oleh tuntutan profesi, demi keperluan pekerjaan, maka baca-tulis mengemuka sebagai upaya untuk memudahkan pekerjaan. Ketiga, paripurna tatkala tradisi literasi berlangsung karena tuntutan kebutuhan jiwa.
Pada konteks ini, menarik untuk menyeret beberapa komunitas literasi sebagai contoh yang lapik gerakannya berbasis di Makassar. Sebutlah Paradigma Institute, Kata Kerja, Kampung Buku, Kedai Buku Jeni, Literasi Makassar, Pecandu Aksara, dll. Sekaum anak muda yang menceburkan dirinya pada berbagai komunitas tersebut. Dari publikasi-publikasi yang diumbarkan, saya bisa memastikan, bahwa sekotah komunitas itu, paling tidak sudah berada pada tingkatan gerakan literasi yang kedua menuju ketiga. Dan, lebih dari itu, tradisi literasi dari sekumpulan anak muda ini, sudah berada pada yang paripurna, membaca lalu menulis dengan motif memenuhi kebutuhan jiwa.
Pilihan sekelompok kaum muda mahasiswa ini, untuk bergabung dalam komunitas literasi, bagi orang banyak, mungkin tergolong sebagai keanehan atau ketidaknormalan. Pasalnya, di masa kini, menjerumuskan diri dalam sebuah komunitas yang melawan arus utama, terkadang dianggap sebagai kesia-sian, kalau bukan buang-buang waktu. Sehingga, dapat dipastikan, kelompok seperti ini, pastilah jumlah pegiatnya tidak massal.
Sampai di sini saya dapat memberikan sebuah manisto, untuk mencerdaskan tidak harus menjadi guru secara resmi, sebab pada dasarnya, setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah. Era yang berbasis konseptual dan meaning virtual seperti yang dikatakan oleh Flat dalam bukunya The Word is Flat adalah dimana fondisi minat baca dan system literasi lah yang mampu menyelamatkan paradigma ekstrem yang dipengaruhi informasi hoaks dan sejenisnya. Sebab dengan membangun gerakan literasi, baik itu berbasis komunitas masa, komunitas wa dan lainya agar mampu menyelamatkan diri dari hoax paradoks yang muncul.
Anhar, S.Pd., M.Pd.
Komentar